Minggu, 18 Mei 2014

Lia rindu Mama :-(

IBU

Ketika kita lapar, tangan ibu yang menyuapi. Ketika kita haus, tangan ibu yang memberi minuman.

Ketika kita menangis, tangan ibu yang mengusap air mata. Ketika kita gembira, tangan ibu yang menadah syukur, memeluk kita erat dengan deraian air mata bahagia.

Ketika kita mandi, tangan ibu yang meratakan air ke seluruh badan, membersihkan segala kotoran.

Ketika kita dilanda masalah, tangan ibu yang membelai duka sambil berkata, "Sabar nak, sabar ya sayang."
NAMUN,

Ketika ibu sudah tua dan kelaparan, tiada tangan dari anak yang menyuapi. Dengan tangan yang gemetar, ibu menyuapkan sendiri makanan ke mulutnya dengan linangan air mata.

Ketika ibu sakit, dimana tangan anak yang ibu harapkan dapat merawat ibu yang sedang sakit?

Ketika nyawa ibu terpisah dari jasad. Ketika jenazah ibu hendak dimandikan, dimana tangan anak yang ibu harapkan untuk menyirami jenazah ibu untuk terakhir kali.

Tangan ibu, tangan ajaib. Sentuhan ibu, sentuhan kasih. Dapat membawa ke Surga Firdaus.
sumber : halaman fb


Jumat, 09 Mei 2014

kewajiban mempelajari fiqih muamalah (kuliah umum ekonomi syariah)

Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang   sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para  ulama tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh membahas fiqh ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus membahas ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya.
Namun dalam waktu yang panjang,  materi muamalah (ekonomi Islam) cenderung diabaikan kaum muslimin, padahal ajaran muamalah bagian penting dari ajaran Islam, akibatnya, terjadilah kajian Islam parsial (sepotong-sepotong). Padahal orang-orang beriman diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
 إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ

 ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah) . Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS.Al-Baqarah 208).

Akibat lainnya, ialah ummat Islam tertinggal dalam ekonomi dan banyak kaum muslimin yang melanggar prinsip ekonomi Islam dalam mencari nafkah hidupnya, seperti riba, maysir, gharar, haram, batil, dsb.


Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Dalam kitab Al-Mu’amalah fil Islam, Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id mengatakan :


ومن ضرورات هذا الاجتماع الانسان وجود معاملات ما بين أفراده و جماعته
ولذالك جاءت الشريعة الالهية لتنظيم هذه المعاملات  وتحقيق مقصودها والفصل بينهم
Artinya :
Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka

Menurut ulama Abdul Sattar di atas,  para ulama sepakat tentang mutlaknya ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi syariah)

قد أتفق العلماء على أن المعاملات نفسها ضرورة بشرية

Artinya :
Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang maha penting (dharuriyah basyariyah)

Fardhu ‘Ain
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis,  “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk menjadi  expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah

Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
لا يبع في سوقنا  الا من قد تفقه في الدين
  “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)

Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam :          
Tidak boleh beraktifitas bisnis, kecuali faham tentang fikih muamalah
Tidak boleh berdagang, kecuali faham fikih muamalah
Tidak boleh beraktivitas perbankan,   kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas asuransi,       kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas pasar modal, kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas koperasi,       kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas pegadaian,    kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas reksadana,    kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM,kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas jual-beli,        kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun,    kecuali  faham fiqh   muamalah

 Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan :

ومن هنا يتضح أن المعاملات هي من لب مقاصد الدينية لاصلاح الحياة البشرية ولذالك دعا اليها الرسل من قديم باعتيارها دينا ملزما لاخيار لأحد فيه.
 
Artinya : Dari sini jelaslah bahwa “Muamalat” adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya.(Hlm.16)

Dalam konteks ini Allah berfirman :

وَإِلىَ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهِ غَيْرُهُ وَلاَتَنقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُم بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُّحِيطٍ {84} وَيَاقَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلاَتَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلاَتَعْثَوْا فِي اْلأَرْضِ مُفْسِدِينَ

Artinya :
    ‘Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.
    Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)

Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib  mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama ini.
Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa keberatan diatur transaksi ekonominya.

قَالُوا يَاشُعَيْبُ أَصَلَوَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَايَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَانَشَاؤُا إِنَّكَ لأَنتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ
Artinya :
Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang penyantun lagi cerdas”.

    Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalah
    Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut dengan syari’ah.

Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam (para professor dan Doktor) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.

Muamalah adalah Sunnah Para Nabi
    Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi sepanjang sejarah.

وهذه سنة مطردة في الانبياء عليهم السلام كما قال تعالى

Artinya : Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para Nabi AS, (hlm.16), sebagaimana firman Allah

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Artinya :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu.
Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai“Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda”atau lebih tepatnya “aturan Islam  tentang kegiatan ekonomi manusia”

Ruang Lingkup Muamalah
1.    Harta, Hak Milik, Fungsi Uang dan ’Ukud )akad-akad)
2.    Buyu’ (tentang jual beli)
3.    Ar-Rahn (tentang pegadaian)
4.    Hiwalah (pengalihan hutang)
5.    Ash-Shulhu (perdamaian  bisnis)
6.    Adh-Dhaman (jaminan, asuransi)
7.    Syirkah (tentang perkongsian)
8.    Wakalah (tentang perwakilan)
9.    Wadi’ah (tentang penitipan)
10.    ‘Ariyah (tentang peminjaman)
11.    Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah)
12.    Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah)
13.    Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)
14.    Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)
15.    Muzara’ah (kerjasama pertanian)
16.    Kafalah (penjaminan)
17.    Taflis (jatuh bangkrut)
18.    Al-Hajru (batasan bertindak)
19.    Ji’alah (sayembara, pemberian fee)
20.    Qaradh (pejaman)
21.    Ba’i Murabahah
22.    Bai’ Salam
23.    Bai Istishna’
24.    Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
25.    Ba’i Sharf  dan transaksi valas
26.    ’Urbun (panjar/DP)
27.    Ijarah (sewa-menyewa)
28.    Riba, konsep uang dan kebijakan moneter
29.    Shukuk (surat utang  atau obligasi)
30.    Faraidh (warisan)
31.    Luqthah (barang tercecer)
32.    Waqaf
33.    Hibah
34.    Washiat
35.    Iqrar (pengakuan)
36.    Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah)
37.     ََََََُQism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat)
38.    Ibrak (pembebasan hutang)
39.    Muqasah (Discount)
40.    Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur
41.    Baitul Mal dan Jihbiz
42.    Kebijakan fiskal Islam
43.    Prinsip dan perilaku konsumen
44.    Prinsip dan perilaku produsen
45.    Keadilan Distribusi
46.    Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh)
47.    Jual beli gharar, bai’ najasy, bai’ al-‘inah,  Bai wafa, mu’athah, fudhuli, dll.
48.    Ihtikar dan monopoli
49.    Pasar modal Islami dan Reksadana
50.    Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain

Kamis, 08 Mei 2014

Siapa yang berhak cemburu???

Siapa yang berhak cemburu???

Mendung menerpa kaum Anshar. Penduduk muslim kota Yatsrib (sekarang Madinah) yang rela melapangkan rumah, tanah dan diri mereka menolong Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya setelah mereka terusir dari bumi Mekkah disebabkan orang-orang kafir Quraisy yang dengan kejam mencerca dan menyiksa mereka.
Kaum yang berjasa besar bagi kelangsungan dakwah Nabi Muhammad SAW. Kumpulan orang-orang mulia yang diabadikan sebutan mereka dalam kitab suci umat ini.
Setelah bertahun-tahun bersama-sama Rasulullah SAW dalam suka dan duka. Setelah peperangan demi peperangan mereka arungi sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap Rasulullah SAW. Setelah jiwa dan hati mereka serahkan sepenuhnya untuk Allah dan Rasul-Nya.
Namun tak dinyana, hari itu seolah langit bergemuruh hebat dengan suara-suara parau yang beredar di kalangan kaum Anshar. Saat kejayaan Islam telah menggetarkan pilar-pilar kekaisaran Romawi yang berdiri kokoh waktu itu.
Saat sebagian besar daerah di jazirah-jazirah arab bahkan Makkah sudah tunduk di bawah kekuasaan Islam. Sekembalinya dari perang Hunain dan Thaif, Rasulullah SAW dan para sahabatnya pulang dengan harta rampasan perang yang melimpah ruah.
Tapi setelah pembagian harta rampasan selesai dibagi-bagikan, ada satu hal yang mengganjal di hati orang-orang Anshar. Para pembesar-pembesar Quraisy yang baru saja masuk Islam ketika penaklukan kota Makkah mendapat harta rampasan lebih banyak dari pada kaum Anshar bahkan dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan mereka tidak mendapat bagian sama sekali.
Rasa cemburu yang dalam menyelubungi relung-relung hati kaum Anshar. Bahkan (kabarnya) sampai-sampai ada yang mengatakan, “Demi Allah, kini Rasulullah telah berjumpa kembali dengan kaumnya sendiri (orang-orang Mekkah).”
Setelah mendengar omongan miring yang beredar di kalangan Anshar, Rasulullah SAW segera meminta Sa’ad bin Ubadah mengumpulkan kaumnya di suatu tempat. Setelah kaum Anshar berkumpul, Rasul SAW yang mulia itu pun datang. Berdiri tegak di hadapan mereka. Memandang wajah-wajah teduh para sahabatnya.
Setelah memuji Allah, beliau SAW pun berkata kepada seluruh kaum Anshar. Ucapan yang muncul dari hati dan jiwanya. Kalimat-kalimat yang menggetarkan tubuh orang-orang Anshar. Membuat siapa pun yang mendengar ucapan beliau SAW meneteskan air mata.
Rasulullah SAW berkata, “Wahai kaum Anshar, ucapan miring dan keberatan kalian terhadapku sudah sampai kepadaku. Bukankah dahulu aku datang kepada kalian saat kalian berada dalam kesesatan, lalu Allah memberi kalian petunjuk? Dahulu pun kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mencukupkan (karunia-Nya) kepada kalian? Kalian pun dulunya saling bermusuhan, lalu Allah menyatukan hati kalian?
Orang-orang Anshar pun menjawab, “Benar, hanya Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan lebih utama.”
Namun Rasulullah bertanya, “Kenapa kalian tidak membalas ucapanku wahai orang-orang Anshar!?”
Mereka mulai terheran-heran, mereka tidak mengerti maksud dari pertanyaan Rasulullah SAW yang seolah menantang mereka membalas ucapannya. Mereka hanya menjawab, “Dengan apa kami harus membalas (ucapanmu) wahai Rasulullah!?”
Rasulullah SAW pun berkata, “Demi Allah! Jika kalian mau, kalian pasti mengatakannya (dan membalasnya), dan apa yang kalian katakan adalah benar, dan pasti kalian juga akan dibenarkan.” (Kalian bisa saja membalasnya dengan mengatakan) “Engkau telah datang kepada kami sebagai seorang yang didustakan, lalu kami yang menolongmu (wahai Rasulullah). Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang terusir lalu kami menampungku. Dan Engkau pun juga datang kepada kami sebagai seorang yang miskin lalu kami menanggung semua bebanmu.”
Isak tangis mulai membahana. Air mata mengucur deras membasahi wajah dan janggut-janggut kaum Anshar. Mereka bungkam diam seribu bahasa, tak pernah menyangka Rasulullah SAW akan berkata seperti itu.
Rasulullah SAW berkata lagi, “Wahai kaum Anshar! Apakah kalian mendapatkan di dalam diri kalian (hasrat terhadap) secuil harta dunia yang telah melunakkan hati suatu kaum agar mereka masuk Islam, sedangkan kalian (sudah sejak lama) telah menyerahkan diri kepada Islam. Wahai kaum Anshar! Tidakkah kalian rela jika orang-orang pulang dengan membawa domba-domba dan onta-onta sedangkan kalian pulang dengan membawa Rasulullah ke rumah kalian?
Demi (Tuhan) yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Andai saja bukan karena hijrah niscaya aku adalah seorang Anshar. Andaikata orang-orang memilih jalan di antara celah-celah bukit, sedangkan orang-orang Anshar memilih jalan yang lain, niscaya aku pasti memilih jalan yang ditempuh oleh orang-orang Anshar. Ya Allah, kasihilah orang-orang Anshar, anak-anak serta cucu-cucu mereka.”
Kaum Anshar tak kuasa menahan tangis. Mereka sesengukan mendengar ucapan demi ucapan yang keluar dari lidah Rasulullah SAW. Mereka menangis bukan hanya menyesali perbuatan mereka, mereka juga menangis bahagia. Ternyata Rasulullah SAW mencintai mereka melebihi apa yang mereka bayangkan.
Benarlah Rasulullah SAW yang mengatakan sebaik-baik kehidupan adalah periode ketika beliau diutus, kemudian periode setelahnya, kemudian abad setelahnya. (HR. Bukhari)
Seringkali kita disuguhkan kisah-kisah kegemilangan para sahabat. Seolah kita sedang dibawa masuk ke dalam dunia lain. Tak bisa menolak rasa cemburu di hati, ingin rasanya menjadi bagian dari mereka, hidup di zaman mereka, berjuang bersama-sama mereka.
Rasa cemburu seperti ini pula pernah dirasakan seorang tabi’in sehingga dia mengatakan kepada Miqdad bin ‘Amr RA salah seorang sahabat Nabi SAW, “Alangkah beruntungnya kedua mata(mu) itu, yang telah melihat Rasulullah SAW.
Demi Allah! Ingin sekali rasanya kami melihat apa yang telah engkau lihat, dan kami menyaksikan apa yang sudah engkau saksikan dulu”. Lalu Miqdad bin ‘Amr mengatakan, “Apa yang menyebabkan salah seorang dari kalian berandai-andai melihat dan menyaksikan sesuatu yang Allah tidak izinkan? Bukankan kalian tidak pernah tahu bagaimana keadaan kalian andai saja kalian melihatnya? Demi Allah! Sesungguhnya banyak orang-orang yang hidup semasa dengan Rasulullah, namun Allah menyeret hidung-hidung mereka ke dalam Neraka Jahannam? Bukankah sebaiknya kalian memuji Allah karena Dia telah menjauhkan kalian dari bala yang menimpa mereka dan Dia pula yang mengeluarkan kalian (dari perut ibu-ibu kalian) dalam keadaan beriman kepada-Nya dan Rasulnya?” (Rijal Haula ar-Rasul, Khalid Muhammad Khalid)
Memang sebaiknya kita berhenti mencela zaman, karena yang mesti dicela adalah diri kita yang masih saja tertipu dengan kehidupan dunia. Allah tidak akan merubah suatu kaum, sampai kaum itu merubah diri mereka sendiri. Allah tidak akan merubah keterbelakangan umat Islam saat ini jika kita masih saja sibuk mencela musuh-musuh kita, memburuk-burukkan akhlak orang lain, namun kita lupa memperbaiki diri sendiri.
Bukankah Rasulullah SAW dalam hadits riwayat imam Ahmad mengatakan, “Beruntunglah bagi orang-orang yang melihatku sedang mereka beriman kepadaku, dan keberuntungan pula bagi orang-orang yang tidak melihatku namun mereka (juga) beriman kepadaku”. Sepintas tidak ada yang diistimewakan dari perkataan beliau.
Tapi kenyataannya Rasulullah SAW mengulang-ulang ucapan keberuntungan bagi orang-orang yang tidak melihatnya sebanyak tujuh kali. Maka beruntunglah kita. Beruntunglah. Beruntunglah jika kita benar-benar beriman dengan risalah yang dibawa oleh nabi SAW yang mulia itu.
Siapapun berhak untuk cemburu.
Jika cemburu itu menimbulkan semangat untuk meningkatkan ketakwaan dan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat maka biarkanlah rasa cemburu itu tertanam kuat dalam hati.
Firman Allah SWT dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 100:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Ya Allah! Kami semua ridha maka ridhailah!